Monday 30 September 2019

Jadi Berilmu Pengembangan Jiwa Atau Abjad Di Pesantren


Pengembangan Jiwa atau Karakter di Pesantren. Pesantren merupakan forum pendidikan keagamaan Islam berbasis masyarakat untuk menghasilkan lulusan yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai fatwa agamanya dan/atau menjadi jago ilmu agama.

Pesantren dituntut supaya sanggup mengarahkan, membimbing, membina, dan menghasilkan santri yang sanggup menjalankan peranan dirinya sebagai seorang muslim dalam penguasaan fatwa agama Islam sebagai pemenuhan kewajiban-individu seorang muslim (fardlu ain ), dan/atau menghasilkan jago ilmu agama Islam sebagai pemenuhan kewajiban-kolektif umat Islam (fardlu kifayah).

Sesuai dengan tujuan itu, secara fisik setidaknya ada 5 (lima) unsur yang harus terpenuhi secara integral oleh institusi pesantren. Kelimanya ini yakni sebagai berikut:

1. Kyai, ustad atau sebutan lainnya


atau sebutan lain sesuai kekhasan wilayah masing-masing yang mengatakan kompetensi keagamaan dan kemampuan sosial yang sangat baik. Keberadaannya dalam pondok pesantren dijadikan sebagai figur, teladan, dan/atau sekaligus pengasuh yang membimbing santri dan stakeholder pesantrennya. Oleh karenanya, kyai, ustad atau sebutan lainnya itu wajib berpendidikan pondok pesantren. Sementara pengalaman berguru pada instansi pendidikan lainnya diposisikan sebagai kompetensi pendukung bagi kapasitas pengasuh pesantren.

2. Santri, minimal 15 (lima belas)


Santri yang tinggal dan berada di dalam po ndok pesantren selama 24 (dua puluh empat) jam dalam sehari dimaksudkan untuk mendalami pengetahuan keagamaan melalui serangkaian acara di pesantren, pengamalan dan pe mbinaan amaliyah ibadah, dan penanaman nilai-nilai tabiat karimah. Di samping santri mukim, pesantren juga diperbolehkan untuk mendapatkan santri yang tidak mukim atau biasa dikenal dengan santri kalong. Namun, keberadaan santri kalong ini tidak menjadi unsur pokok pondok pesantren, melainkan sebagai faktor penunjang atau pemanis aspek kesantrian.

3. Pondok atau asrama


Pondok atau asrama ini dimaksudkan untuk daerah tinggal dan pemenuhan kebutuhan sehari-hari bagi santri.

4.Masjid/mushalla


Sebagai daerah ibadah, masjid/mushalla sanggup dipakai oleh masyarakat sekitar. Hal ini dimaksudkan supaya terjadi interaksi antara pesantren dengan masyarakat dan menghindari eksklusivisme pesantren. Selain difungsikan sebagai daerah ibadah, masjid/mushalla itu sanggup difungsikan juga sebagai daerah proses pembelajaran dan kajian ilmu-ilmu keislaman.

5.Kajian kitab kuning


Dengan contoh pendidikan mu’allimin untuk mendalami pengetahuan dan wawasan keagamaan Islam. Jika kitab kuning merupakan beberapa lit eratur tertentu yang biasanya dikaji dari awal sampai simpulan maka dirasah islamiyah dengan contoh pendidikan mu’allimin merupakan kumpulan kajian wacana ilmu agama Islam yang tersusun secara terstruktur, sistematik dan terorganisasi yang bersifat integr atif memadukan ilmu agama dan ilmu umum dan bersifat komprehensif dengan memadukan intra, ekstra dan kokurikuler, yang oleh sebagian pesantren dikenal dengan sebutan sistem madrasy.

Namun demikian, baik kitab kuning maupun dirasah islamiyah dengan contoh pendidikan mu’allimin, keduanya mempunyai 3 (tiga) kriteria dasar, yaitu memakai literatur berbahasa Arab, literatur tersebut mempunyai akar historis-akademis dengan pesantren, dan kandungannya sesuai nilai-nilai Isla m-keindonesiaan, yakni menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, Bhinek a Tunggal Ika, keadilan, toleransi, kemanusiaan, keikhlasan, kebersamaan, dan nilai-nilai luhur lainnya serta mengembangkan pemikiran yang tawazun, tawasuth, santun, inklusif, anti-radikal, menghargai perbedaan dan budaya lokalitas. Oleh karenanya, pesantren akan terus memperjuangkan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dalam proses penyelenggaraan pendidikannya, pesantren mengembangkan jiwa atau karakteristiknya sebagai berikut:

1.Jiwa NKRI dan Nasionalisme


Jiwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan nasionalisme merupakan prinsip utama dalam penyelenggaraan sistem pendidikan yang dikembangkan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Semua forum pendidikan, termasuk pondok pesantren, yang berada di dalam wilayah teritori NKRI harus menjunjung nilai-nilai keindonesiaan, kebangsaan, kenegaraan dan persat uan yang didasarkan atas NKRI, Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika.

2.Jiwa Keilmuan


Jiwa keilmuan ini melandasi pada seluruh stakeholder dan civitas akademika pondok pesantren untuk menimba, mencari, dan mengembangkan ilmu pengetahuan yang tidak henti. Bagi kalangan pondok pesantren, mencari ilmu pengetahuan merupakan keharusan yang dilakukan sampai meninggal dunia. Demikian juga dengan semangat untuk mengembangkan dan mengembangkan imu pengetahuan kepada masyarakat merupakan bab dari ib adah sosial sebagai pengejewantahan itikad meraih imu pengetahuan yang bermanfaat ( al-ilm al-nafi’).

3.Jiwa Keikhlasan


Jiwa keikhlasan yang tidak didorong oleh ambisi apapun untuk memperoleh keuntungan-keuntungan tertentu tetapi semata-mata demi ibadah kepada Allah. Jiwa keikhlasan termanifestasi dalam segala rangkaian sikap dan tindakan yang selalu dilakukan secara ritual oleh komunitas pondok pesantren. Jiwa ini terbentuk oleh adanya suatu keyakinan bahwa perbuatan baik mesti dibalas oleh Allah dengan akhir yang baik pula, bahkan mungkin sangat lebih baik.

4.Jiwa Kesederhanaan


Sederhana bukan berarti pasif, melarat, nrimo dan miskin, tetapi mengandung unsur kekuatan dan ketabahan hati, penguasaan diri dalam menghadapi segala kesulitan. Di balik kesederhanaan itu, terkandung jiwa yang besar, berani, maju terus dalam menghadapi perkembangan dinamika sosial. Kesederhanaan ini menjadi identitas santri yang paling khas di mana-mana.

5.Jiwa Ukhuwah Islamiyyah


Ukhuwah islamiyyah yang demokratis ini tergambar dalam situasi dialogis dan dekat antar komu nitas pondok pesantren yang dipraktekkan sehari-hari. Disadari atau tidak, keadaan ini akan mewujudkan suasana damai, senasib sepenanggungan, yang sangat membantu dalam pembentukan dan pembangunan idealisme santri. Perbedaan yang dibawa oleh santri saat masuk pondok pesantren tidak menjadi penghalang dalam jalinan yang dilandasi oleh spiritualitas Islam yang tinggi.

6.Jiwa Kemandirian


Kemandirian di sini bukanlah kemampuan dalam mengurusi persoalan-persoalan intern, tetapi kesanggupan membentuk kondisi pondok pesantren sebagai institusi pendidikan Islam yang merdeka dan tidak menggantungkan diri pada tunjangan dan pamrih pihak lain. Pondok pesantren harus bisa berdiri di atas kekuatannya sendiri.

7.Jiwa Bebas


Bebas dalam menentukan alternatif jalan hidup dan menentukan masa depan dengan jiwa besar dan sikap optimistis menghadapi segala problematika hidup menurut nilai-nilai Islam. Kebebasan di sini juga berarti tidak terpengaruh atau tidak mau didikte oleh dunia luar.

8.Jiwa Keseimbangan


Jiwa keseimbangan pada pondok pesantren dimanifestasikan atas kesadaran yang fundamental atas fu ngsi insan baik sebagai hamba Allah maupun sebagai khalifah di muka bumi. Sebagai hamba Allah, insan diwajibkan untuk beribadah dan menjalin hubungan-personal secara vertikal dengan Allah melalui serangkaian ibadah-ibadah mahdlah dan fasilitasi ibadah lainnya. Sebagai khalifah di muka bumi, insan diwajibkan untuk menjalin komunikasi, kerjasama, dan kekerabatan sosial-horizontal antara sesama dan pemanfaatan alam semesta secara serasi untuk kepe ntingan kemanusiaan secara luas.

Kedua fungsi ini senantiasa mendasari dalam sikap dan sikap keberagamaan, contoh pikir, dan acara sehari-hari secara seimbang.

No comments:

Post a Comment