Sahabat Edukasi yang sedang berbahagia...
Ditinjau sudut sosio-historisnya, banyak para pakar yang menyatakan bahwa Institusi pesantren lahir sebagai salah satu wujud pemberontakan kepada para imperialisme barat atas praktek diskriminasi terhadap keberadaan masyarakat pribumi.
Tidak hanya itu, iapun lahir dari kesadaran penuh atas ghirahnya mencerdaskan kehidupan bangsa dan memperjuangkan kebebasan dari segala bentuk tirani penjajahan, entah penjajahan berupa fisik maupun no-fisik. Sehingga Cak Nur (sapaan dekat Nurcholish Madjid) mengistilahkan pesantren sebagai intitusi indigenous, yakni institusi pendidikan yang memiliki makna orisinil Indonesia.
Ditinjau sudut sosio-historisnya, banyak para pakar yang menyatakan bahwa Institusi pesantren lahir sebagai salah satu wujud pemberontakan kepada para imperialisme barat atas praktek diskriminasi terhadap keberadaan masyarakat pribumi.
Tidak hanya itu, iapun lahir dari kesadaran penuh atas ghirahnya mencerdaskan kehidupan bangsa dan memperjuangkan kebebasan dari segala bentuk tirani penjajahan, entah penjajahan berupa fisik maupun no-fisik. Sehingga Cak Nur (sapaan dekat Nurcholish Madjid) mengistilahkan pesantren sebagai intitusi indigenous, yakni institusi pendidikan yang memiliki makna orisinil Indonesia.
Dalam perjalanannya, pesantren tidak jarang dicap sebagai institusi pendidikan tradisionalis, yang memiliki kecenderungan ortodoksi dan menolak modernitas.
Stempel tradisionalis tersebut lambat laun ternyata berimplikasi berpengaruh terhadap dinamika pergumulan pesantren sebagai kiprahnya dalam menyebarkan transformasi pendidikan. Sehingga demikian, disadari atau tidak stempel tradisionalis itu telah membawa angin segar bagi pesantren untuk tetap survive sampai ketika ini.
Stempel tradisionalis tersebut lambat laun ternyata berimplikasi berpengaruh terhadap dinamika pergumulan pesantren sebagai kiprahnya dalam menyebarkan transformasi pendidikan. Sehingga demikian, disadari atau tidak stempel tradisionalis itu telah membawa angin segar bagi pesantren untuk tetap survive sampai ketika ini.
Berdasarkan stempel tradisionalis tersebut, yang pada jadinya membawa pesantren untuk terus berinstrospeksi dan menata keberadaanya. Bagi pesantren yang memiliki keterbukaan dan progresifitas, stempel tradisionalis dijadikan sebagai motivasi untuk kemudian menjadikan pesantren lebih progresif sesuai dengan kebutuhan zaman. Lain sebaliknya, bagi pesantren yang cenderung tertutup dan represif, stempel tradisionalis telah menjadikan dorongan untuk semakin menonjolkan identitas tradisionalisnya dengan menolak sejumlah usulan modernitas.
Lepas dari itu, perhatian besar tertuju pada pesantren yang memiliki kecenderungan terbuka dan mendapatkan modernitas. Yakni menyebarkan proses pendidikan yang tetap melestarikan tradisi dan khazanah-khazanah Islam klasik disatu sisi dan mendapatkan modernitas disisi lain. Keterbukaan ini bukan tanpa sebab, kaidah klasik pesantren menyatakan “al-Muhafadhotu ‘ala Qadimi al-Shalih wa al-Akhdzu bi al-Jadid al-Ashlah” (Menjaga khazanah klasik dan mendapatkan modernitas yang lebih baik). Prinsip keterbukaan dan progresifitas lain yang sesuai dengan kaidah diatas misalkan; “Kaifa nataqaddam duuna ‘an natakhalla ‘an al-Turats” (Bagaimana kita sanggup maju dengan tanpa membongkar tradisi [khazanah pesantren]).
Prinsip menjaga khazanah klasik ini ditunjukkan dengan menjadikan khazanah kitab kuning sebagai tumpuan utama dalam pesantren. Namun problematikanya ialah sejauh mana pesantren sanggup mendudukan kitab kuning secara proporsional, terutama, jikalau dihadapkan dengan konteks kekinian. Problematika tersebut misalnya, ibarat apa yang tertera dalam banyak kitab kuning.
Dalam kitab Uqud al-Lujain contohnya, sehabis dilakukan penelian mendalam memakai metodologi ta’liq wa takhrij al-Hadits oleh Ibu Sinta Nuriyah Wahid dan kawan-kawan, tidak sedikit wacana-wacana yang tertulis dalam kitab itu, berkecenderungan bias gender. Dalam penelitiannya itu ditemukan 26 hadits lemah (dla’if) dan 35 hadits palsu (maudlu’) dari sekitar 120-an hadits dalam kitab ‘Uqud al-Lujjayn.
Tidak hanya, selain lantaran urusan pesantren begitu Kiai oriented, tumpuan yang dipelajarinya pun mendukung hal-hal yang belum mencerminkan keadilan dan kesetaraan gender. Sebut saja misalkan sejumlah kitab-kitab tumpuan wajib hampir seluruh pesantren khususnya di Jawa, kitab-kitab yang berpotensi bias gender selain Uqud al-Lujain fi Bayan Huquq al-Zujain, karya Syekih Nawawi Banten, ada juga kitab Safinah al-Naja fi Maa Yajibu ‘alaa Abdi li Maulaahu, karya Syaikh Salim bin Abdullah bin Samir, Qurrah al-‘Uyun al-Nikah al-Syar’I bi Syarh Nazh Ibnu Yanun karya Abu Muhammad Maulana al-Tihami, Adab al-Mu’asyarah bain al-Zaujain li Tashil al-Sa’adah al-Zawjiyyah al-Haqiqisiyyah karya Ahmad bin Asymuni, dan lain sebagainya.
Berdasarkan penelitian, kaidah dan prinsip keterbukaan tersebut, pesantren seharusnya membuka mata lantaran ia justru sanggup memacu progresifitas pesantren yang akan menunjukkan donasi positif dalam mewujukan pendidikan bagi wanita (santriwati) di pesantren yang berperspektif gender. Memberikan kebebasan dan keleluasaan ruang gerak bagi wanita yang telah sekian usang didiskreditkan keberadaannya.
Bahwa wanita (santriwati), (entah disadari atau tidak) atau sebagaimana sejarah dunia mencatat selalu dipersepsikan sebagai insan bernomor dua dibelakang laki-laki, separuh harga dari laki-laki, yang keberadaannya selalu dipandang rendah dan diskriminatif. Perempuan hanya dijadikan objek bukan subjek sebagaimana laki-laki. Perempuan dihentikan untuk bersuara lantang dikancah publik. Ia dipaksa untuk hanya berdomisili diranah domestik; seputar dapur, sumur, dan kasur.
Perempuan di dzolimi tidak hanya menurut budaya patriarkhi atau norma-norma sosial belaka, melainkan pula melalui sejumlah interpretasi literal para Kiai atas teks-teks keagamaan yang (meskipun) bersumber dari al-Qur’an, hadits, maupun kitab-kitab klasik (kitab kuning). Teks yang terakhir ini pulalah yang telah menjadikan budaya patriarkhi begitu menempel di pesantren.
Jika realitas bias gender dalam tumpuan pesantren tersebut tidak segera dilakukan reinterpretasi, maka tidak menutup kemungkinan pesantren akan kehilangan nilai-nilai humanis dan keadilan yang semenjak dulu telah menempel dalam badan pesantren. Kendati demikian, kita patut berbangga hati atas kemunculan Kiai “nyentrik” sekelas KH. Husein Muhammad, Kiai sarungan asal Arjawinangun ini (kalau saja perjuangannya sanggup direnungkan sejenak) telah menunjukkan dampak terhadap pergulatan diskursus kesetaraan gender, khususnya bagi kalangan pesantren.
Meneladani dan melanjutkan (mengistiqamahkan) usaha kontekstual KH. Husein Muhammad ialah keharusan. Oleh alasannya ialah itu, oleh Kiai-kiai (pesantren manapun) secepatnya sanggup mengilhami serangkaian tafsir bahwa Islam ramah repempuan, ini berkhasiat (terutama) dalam pemenuhan pendidikan berperspektif keadilan gender para santri (terutama santriwati) nya. Tiada lain ialah melalui serangkaian pemahaman (pengajian) dan gerakan yang berkeadilan dan berkesetaraan gender dalam sistem pendidikan pesantren, minimalnya dengan cara melaksanakan interpretasi ulang terhadap kitab-kitab klasik yang bias gender itu. Karena sejatinya diskursus kesetaraan gender berbicara pada ranah sosio-kultural dalam menyebarkan aspek feminitas (feminity/nisaiyah) perempuan, bukan bermaksud mengungguli pria Wallahu ‘alam.
No comments:
Post a Comment