Monday 14 October 2019

Jadi Cerdik Jejak Asing Orang-Orang Jadzab


“Jangan hingga kamu sibukkan pikiranmu dengan apa yang dilakukan oleh Syekh Ibnu Arabi dan yang semisalnya, lantaran itu yaitu hal yang sudah keluar dari kebiasaan. Sebagian orang mungkin terjebak menuduhkan hal-hal yang tidak mereka lakukan kepada mereka. Ikutilah cara Imam al-Ghazali dan semisalnya, dengan paham tasawuf, fikih, dan keilmuannya. Karena, inilah ilmu syariat, dan makna yang tersurat dari al-Qur’an dan Sunah. Dengan berpegang teguh kepada itu, engkau akan mendapatkan keselamatan dan keberhasilan. Hindari yang selain itu, lantaran sanggup membingungkan orang lain.”

Inilah pernyataan salah tokoh utama tarekat Bani Alawi, yaitu Imam al-Haddad. Tarekat Alawiyah memang dikenal sebagai tarekat yang sangat teguh dalam memegang syariat dan Sunnah. Mereka hidup wajar, dan tidak ada yang gila dalam suluk mereka. Namun demikian, mereka tetap memaklumi bahwa dalam kondisi tertentu seorang sufi memang sanggup mengalami jazab. Al-Faqih al-Muqaddam, salah satu perumus terpenting manhaj thariqah Alawiyah, konon juga pernah mengalami kondisi jazab selama 100 hari di simpulan hayatnya. Selama masa itu, dia tidak makan, tidak minum dan tidak berdialog dengan orang di sekelilingnya.

Dalam kondisi jazab, seorang waliyullah sanggup melaksanakan apa saja di luar kesadaran mereka, termasuk melaksanakan hal-hal yang secara lahiriah dianggap menyimpang dalam pandangan syariat. Mereka tidak akan dimintai pertanggungjawaban mengenai penyimpangan tersebut, lantaran mereka melakukannya dalam keadaan tidak sadar dan tidak mukalaf. Tapi, kata Syekh Said an-Nursi, tetap ada batas. Dalam penyimpangan tersebut, tidak ada ucapan atau perilaku yang mengesankan menentang hakikat syariat dan kaidah iman. “Kalau dikala dia tidak sadar ada ucapan atau perilaku yang mengesankan pendustaaan atau pengingkaran terhadap banyak sekali hakikat yang kokoh tersebut, maka Na’udzubillâh, itu merupakan menunjukan celaka bagi dia…”.

Syekh Ismail Haqqi menyatakan, bahwa orang jazab tidak terkena khithab hukum syariat, lantaran logika mereka sudah hilang disebabkan pengalaman agung bersama Allah yang mereka alami. Ulama fikih pun juga memaklumi hal itu. Imam as-Suyuthi dalam al-Hâwi lil-Fatâwa menyatakan bahwa, cara paling elegan dalam menyikapi ucapan-ucapan nyeleneh yang muncul dari kalangan sufi semisal “Aku yaitu Allah” yaitu dengan menyatakan bahwa hal itu mereka lakukan dalam keadaan sakar dan karam dalam akalnya yang menghilang. Atau, mereka menyatakan hal itu atas dasar hikâyah (menceritakan firman Allah). Sikap semacam ini perlu diambil kalau ucapan atau tindakan gila itu muncul dari orang yang memang masyhur mempunyai ilmu yang tinggi, amal yang baik, tekun mujahadah, dan patuh terhadap syariat. Lain halnya kalau muncul dari orang udik atau orang-orang yang fasiq.

Namun demikian, perlu juga diketahui bahwa penyimpangan yang dilakukan oleh orang-orang wali tidak semuanya dilakukan dalam keadaan tidak sadar. Ada pula yang melakukannya dalam keadaan sadar. Dengan demikian berarti dia melaksanakan maksiat. Dalam hal ini, terjadinya maksiat dari para wali menyerupai dengan terjadinya maksiat dari para Sahabat Rasulullah Mereka mungkin melaksanakan perbuatan maksiat, tapi hal itu tidak seberapa dibanding kebaikan mereka yang luar biasa besar.

Syekh Zarruq dalam kitab an-Nashîhah al-Kâfiyah menyatakan, “Mengenai perbuatan (orang-orang sufi) yang harus diingkari (secara syariat), maka harus diingkari, tapi dengan tetap meyakini bahwa mereka yaitu orang-orang baik. Sebab, seorang wali tidak tidak mungkin melaksanakan kesalahan. Mereka cuma mahfûzh (dijaga, tapi tidak maksum). Orang mahfûzh masih mungkin melaksanakan maksiat. Konon, pernah ada orang bertanya kepada Imam al-Junaid al-Baghdadi, “Apakah orang yang makrifat sanggup melaksanakan zina?” Beliau menjawab, “Ketetapan Allah niscaya terjadi…”. Beliau mengutip QS al-Ahzab: 38 untuk menyatakan bahwa hal itu mungkin terjadi.

Prinsipnya, mengenai orang-orang yang sudah masyhur akan kebaikannya dalam hal akidah, ilmu dan amal, maka sebisa mungkin dilihat dengan cara pandang yang baik (husnuz-zhann). Maka, tidak perlu diingkari dari mereka kecuali hal-hal yang sudah disepakati oleh ulama akan keharamannya, sebagaimana juga dilarang dimaklumi dari mereka kecuali perbuatan yang masih mempunyai bentuk untuk diperbolehkan. Demikian kata Syekh Zarruq.

Mengenai hal itu, sebagian ulama memang masih mencurigai adanya kondisi jazab yang sanggup menjadikan seseorang terlepas dari taklif hingga melaksanakan perbuatan maksiat. Logikanya, kalau akalnya hilang lantaran karam dalam kebenaran, maka semestinya apa yang ia lakukan kental dengan kebenaran. Tentu, akan lain halnya kalau akalnya hilang lantaran karam dalam bayang-bayang khayalan.

Kondisi jazab yang menjadikan seorang sufi terlepas dari akalnya, berdasarkan Syekh Ismail Haqqi ada tiga tingkat. Yang pertama, pengalaman metafisisnya bersama Allah (al-wârid) jauh lebih tinggi daripada kekuatan yang ada dalam dirinya. Pengalaman itu menguasai dirinya secara penuh, sehingga dia tidak sanggup mengendalikan diri sendiri. Akalnya hilang sama sekali.

Kedua, akalnya masih ada dan perasaan kemanusiaannya masih tersisa. Dia masih makan, minum, dan hidup masuk akal secara lahiriah, tapi tidak disertai tadbîr (perencanaan yang disadarinya secara penuh). Merekalah yang disebut uqalâ’ul-majânîn atau orang-orang waras yang gila, lantaran secara lahiriah dia normal, tapi batinnya sedang terpukau dan terkesima.

Ketiga, pengalaman metafisis itu tidak bertahan usang menguasai dirinya. Jazabnya cuma sebentar. Dia segera kembali normal, hidup wajar, menyadari segala ucapan dan rangsangan di sekelilingnya, disertai dengan tadbîr (perencanaan yang disadari sepenuhnya) menyerupai insan pada umumnya. Di kalangan sufi, ini disebut Shâhibul-Qadam al-Muhammadi atau orang yang menapaki jejak Nabi Muhammad . Pada detik-detik sedang mendapatkan wahyu, Rasulullah. menyerupai terlepas dari kemanusiaannya dengan badan gemetar dan tidak menghiraukan apa yang ada di sekelilingnya. Setelah selesai, dia eksklusif kembali ke dalam keadaan sediakala, memberikan wahyu tersebut kepada para Sahabat menyerupai biasa.

Jazab ada yang menyerupai dengan kondisi itu. Dan, inilah tingkat jazab yang paling sempurna, jazab yang disertai keseimbangan antara rangsangan fisik dan tarikan metafisik.

Referensi : https://www.sidogiri.net/

No comments:

Post a Comment