Tak bosan-bosannya saya memperhatikan bocah itu. Dari balik jeruji besi pagar rumah glamor dan megah. Sambil membungkukkan badan saya sanggup mengamatinya dengan leluasa. Dengan cara ini bocah kecil itu tidak akan melihat kehadiran saya
Seandainya ia tahu kehadiran saya menyerupai itu. Mungkin bocah wanita itu akan ketakutan dan berteriak sambil berlalri masuk ke dalam rumah seraya memanggil-manggil mama atau papanya.
Bocah kecil wanita itu manis, imut dan memesona. Rambutnya yang pirang diikat ke samping kiri dan kanan. Kulitnya putih dan bersih. Pipinya padat berisi dan menggemaskan. Bibirnya memerah dibatasi oleh eretan gigi yang putih, higienis dan bagus. Matanya yang bundar dan bening. Sempurna sekali bocah kecil itu, gumamku dalam hati.
Dari tadi bocah wanita memesona itu bermain-main bersama kelinci kesayangannya di taman halaman depan rumahnya yang tidak begitu luas. Namun begitu banyak bunga indah dan nyaman dipandang mata.
Hewan kelinci bocah wanita itu berwarna putih dengan bulu halus dan higienis namun kedua daun telinganya agak kelabu. Sepertinya binatang piaraan itu sudah sangat bersahabat dengan bocah itu.
Sesekali binatang itu berlari, bersembunyi, mempermainkan anak pemiliknya. Tentu saja sang bocah wanita itu ingin tau dan mengejarnya. Ketika kelinci bersembunyi di balik rimbunnya bunga kembang sepatu. Bocah wanita itu memanggil manggil.
”Putih, dimana kau bersembunyi? Ayo keluar…” seru sang bocah.
Karena kelinci yang dipanggil, “Si Putih” itu tidak keluar di balik persembunyiannya, sang bocah mengitari bunga kembang sepatu untuk mencarinya.
“Nah, Itu dia…” serunya kegirangan..Sang bocah mendekat, menangkap kelinci sahabat bermainnya.Si Putih menyerah. Hewan itu niscaya sudah paham jika pun ia ditangkap tak akan menyakitinya.
Bocah wanita nan memesona itu membelai-belai badan sang kelinci dengan tangan mungilnya. Kemudian mendekatkan pipinya ke badan kelincinya..
Meskipun berteman kelinci, bocah kecil itu nampak bahagia dan ceria. Tapi kedua orangtua atau saudaranya kemana ya? Begitu pikir saya...
“Hai bung…ngapain mengendap-endap disitu!. Mau menculik anak saya ya?” Seseorang terdengar berteriak membentak saya dari arah pintu pagar.
Saya menoleh. Kaget memang. Meskipun jarak pagar pekarangan tak lebih lima belas meter dari saya namun saya tak mendengar jika ada kendaraan beroda empat yang berhenti disitu.
Pengemudi kendaraan beroda empat Avanza silver itu keluar dari mobilnya. Kemudian menghampiri saya.
“Anda sanggup saya laporkan ke polisi alasannya yaitu gerak-gerik anda mencurigakan.,” ancamnya seraya menunjuk-nunjuk dan melangkah ke arah saya.
“Maaf, pak. Saya tidak bermaksud untuk menculik anak bapak. Saya hanya sekadar memperhatikannya karena kagum dengan bocah kecil wanita anak bapak,” sahut saya sambil menyusun kedua telapak tangan minta maaf.
Laki-laki itu terdiam. Lalu membuka rayben hitamnya. Namun kemudian lelaki di hadapan saya terlihat mengerutkan dahi sambil memperhatikan saya.
“Kamu Afriadi, bukan?”
Tiba-tiba ia menyebut nama saya. Sepertinya ia mengenal saya. Oh, tiba-tiba saya juga merasa pernah mengenal orang di depan saya.
Tiba-tiba ia menyebut nama saya. Sepertinya ia mengenal saya. Oh, tiba-tiba saya juga merasa pernah mengenal orang di depan saya.
“Iya, benar. saya Afriadi. Kamu Burhan...?”
“Iya, iya, saya …” sahutnya mengangguk-anguk. Kemudian Tanpa saya memeluk saya penuh bersahabat.
“Aduh, ngapain kau kesini, kawan? Aku tidak menyangka kita sanggup bertemu disini sesudah belasan tahun tak berjumpa.” ujar Burhan kemudian.
“Iya, . Saya juga tidak menyangka disini kita bertemu. Dan, ternyata bocah yang saya perhatikan dari tadi yaitu putri kau sendiri. Cantik dan memesona ,” ujar saya malu.
“Haiii…kamu masih menyerupai dikala kita masih sekolah di Sekolah Menengan Atas dulu. Suka memperhatikan cewek-cewek cantik. Putriku sendiri yang masih bocah masih kau perhatikan juga, hehehe…”
“Ah, kau sanggup saja, Burhan. Mamanya niscaya elok juga, bukan?” gurauku.
“Mamanya kalah elok sama anaknya,”
“Oh ya, mamanya mana?” tanya saya mengalihkan pembicaraan.
“Pergi arisan. Barusan saya kembali mengantarnya.”
Lalu Burhan mengajak saya mampir. Kami bercerita kesana kemari mengingat masa kemudian di SMA. Sampai saya pamit, saya tak melihat bocah elok memesona putrinya Burhan. Bocah manis itu ternyata telah tidur alasannya yaitu kelelahan bermain.
No comments:
Post a Comment